Buku ”Wartawan Kebudayaan Angkat Bicara” Diluncurkan
BENGKULU, BE - Dalam momen Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2014 di Bengkulu, wartawan kebudayaan Indonesia meluncurkan sebuah karya buku berjudul, \"Wartawan Kebudayaan Angkat Bicara\". Buku ini menghimpun sejumlah hasil karya jurnalistik wartawan kebudayaan dari berbagai pelosok tanah air. Baik dalam bentuk tulisan opini, laporan, dan profil. Direktur Sekolah Jurnalistik Kebudayaan (SJK) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Yusuf Susilo Hartono, mengatakan bahwa buku tersebut hanya memuat sebagian kecil, dari ratusan wartawan kebudayaan. \"Sebagian besar dari mereka ini adalah alumni SJK-PWI angkatan pertama (2012) dan angkatan kedua (2013) di Bogor. Serta alumni Temu Redaktur Kebudayaan PWI 2012 san 2013,\" tuturnya. Yusuf mengatakan, doktrin dunia pers selama ini adalah bad news in good news. Akibatnya,\" Sesuatu yang positif\" dianggap bukan berita. Padahal good news in good news too. Sekolah Jurnalistik Kebudayaan (SJK) PWI mengajarkan pada wartawan agar bijaksana. Dalam arti mau,\"melepas kacamata hitam\" dan mengganti dengan \"kaca mata putih\", sehingga dalam memandang setiap persoalan bisa lebih jernih, terang benderang, proposional, jujur dan adil. Hal tersebut lebih laras dengan Kode Erik Jurnalistik, dan hasil kesepakatan Kebudayaan Dunia 2013 di Bali. Menjadikan kebudayaan sebagai landasan sekaligus motor penggerak pembangunan,\" jelasnya. Diterangkan lebih lanjut, buku \"wartawan Lebudayaan Angkat bicara\" yang merupakan karya wartawan kebudayaan dari berbagai pelosok tanah air. Baik dalam bentuk opini maupun profil. Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya sudah pernah di muat di medianya masing-masing, kemudian diberi sentuhan disana-sini agar sesuai dengan kepentingan buku ini. \"Ranah yang dibicarakan oleh 19 karya jurnalistik ini boleh dibilang cukup luas,\" jelasnya. Pada kategori opini, Prof Wayan Winda (Kontributor Opini Bali Post) mengupas soal \"Sumbangan Subak (Bali) terhadap Kebudayaan dunia\". Subak yang telah diakui oleh UNESCO, ini menyimpan kearifan lokal yang memanifestasikan filosofi Tri Hita Karana, yakni sebuah nilai yang menjaga harmoni antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam lingkungannya. Lusiana Indriasari (Kompas) melalui tulisan\"laporan Akhir Tahun: Jangan Cuma Konferensi\", bertolak dari Forum Kebudayaan Dunia di Bali, yang melibatkan sekitar 1.000 peserta dari 65 negara. Yusuf Susilo Hartono melalui tulisannya di Majalah Visual Art mengajak kalangan seni rupa untuk menggelar \"konvensi Nasional Seni Rupa Sebagai Jawaban\", atas karut-marut yang selama ini terjadi. Empat opini lain, mencoba menyorot permasalahan lokal, menyangkut perihal cagar budaya, identitas suku dari segi bahasa, bahasa daerah vs bahasa Indonesia, dan perkembangan sastra Indonesia. Melalui tulisannya,\"Mencari Cagar Budaya di Donggala\", Jamrin Abibakar (Media Alkhairaat) ia ingin menegaskan bahwa di Donggala cukup banyak cara budaya. Joko Santoso (Sulteng Post) lewat tulisan \"Identitas Konsonan \"V\" Bagi Orang Kaili\", mengajak masyarakat hingga pemerintah setempat memeriksa kembali kebijakan/kebiasaan lama mengubah V menjadi W untuk penulisan nama tempat dan lain-lain. Seiring dengan terjadinya krisis bahawa di negeri ini akibat penyelewengan Sumpah Pemuda, Basri (Harian Fajar) melalui tulisannya\"Menddaerahkan Bahasa Daerah\" mengajak media massa ambil peran nyata, dalam membuat bangga pada pengguna bahasa daerah di Bugis, Makassar, Toraja, Massenrempulu, dan sub dialek lainnya. Perkembangan sastra di Baka Belitung juga menjadi pasang surut. Hal ini yang disorot Emil Mahmud (Bangka Pos). Dengan kemunculan Laskar Pelangi Andrea Herata, diharap dapat memicu munculnya sastrawan-sastrawan muda di sana. pada tulisan jurnalistik selanjutnya, yakni kategori laporan, mantan Pemred Suara Pembaruan dan Redpel Majalah Film Delta Willy Hangguman yang kini bekerja di Majalah Galeri menurunkan laporan mendalam \"Pro Kontra Investor Asing\" dalam perbioskopan Tanah Air. Wartawan seni budaya Iwan Kurniawan (Media Indonesia0 menulis laporan pertunjukan tari di Gedung Kesenian Jakarta berjudul \"Kisah Ramayana: Dari Tiga Kacamata koreografer\". Frans Ekodanto (Koran Jakarta), dari Taman Ismail Marzuki menurunkan laporan bersemangat review teater memperingati WS Rendra berjudul \"Nyayian Luka maria Zaetun: Problem Alih Wahana dalam Seni\". Bagus Ary Wicaksoni (Malang Post) mengungkap Jejak Ang Hien Hoo: Wayang Orang Tionghoa dari Malang secara mendalam dan rinci, dikaitkan dengan konteks seni dan politik. Benny Baijumi (Radar Bengkulu) melaporkan kondisi mutakhir yang mencemaskan \"Alat Musik Dol Bengkulu: Nyaring Bunyinya, Krisis Tenaga Pembuatnya\". Kalau pembuat Dol punah, tentu saja tradisi Tabot Bengkulu akan terkendala. Apalagi seperti ditulis Iyud Dwi Mursito (Bengkulu Ekspress) \"Tabot Bengkulu: Dari Ritual Jadi Objek Wisata\". Seiring waktu pergeseran tradisi sering kali tidak bisa dihindari. Seperti dilaporkan oleh Leksi Salukh (Victory News) Oko Mama: di NTT itu kini mulai bergeser. Upacara tradisiHudoq Kawit-pun, seperti disiarkan dalam paket budaya nusantara oleh Asty Supriati (RRI Samarinda) juga mengalami perubahan. Di Gorontalo, perayaan Walimah untuk Nabi Muhammad SAW, seperti dilaporkan Rosyid Azhar (jamburaonline.com) dari tahun ke tahun , tidak berubah, malah cenderung semarak. Dan beberapa karya tulis wartawan kebudayaan lainnya, diceritakan dalam buku \"Wartawan Kebudayaan Angkat Bicara\". (100)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: